Sabtu, 04 Desember 2010

PPOK dan Tuberkulosis


            Kemajuan di bidang pulmonologi dan kedokteran respirasi sangat pesat sehingga patofisiologi suatu penyakit paru lebih banyak diketahui, ditambah dengan teknik diagnostik yang semakin canggih sehingga terapi dapat diberikan secara tepat.  Masalah kesehatan paru dan respirasi yang semakin banyak menyebabkan penelitian di bidang ini terus dikembangkan.  Masalah ekonomi dan sosial menyebabkan jumlah perokok semakin banyak dan menimbulkan masalah kesehatan yang rumit.  Infeksi tuberkulosis yang pada mulanya dapat diatasi dengan obat standar ternyata menimbulkan masalah resistensi akibat penatalaksanaan yang tidak memenuhi standar ditambah dengan masalah HIV/AIDS.
            Rokok merupakan faktor terpenting terjadinya Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).  Pajanan yang terus menerus menyebabkan perubahan  pada mukosa jalan napas.  Perubahan makroskopik jalan napas merupakan akibat langsung zat–zat yang terkandung dalam asap rokok tersebut.   Perubahan pada jalan napas tersebut juga mengakibatkan perubahan secara mikroskopik yang lebih rumit karena melibatkan banyak sekali zat ataupun molekul.  Penelitian pada orang sehat dan bekas perokok yang tidak menderita PPOK menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna pada uji faal paru.  Demikian pula tidak ada perbedaan pada sel inflamasi, seperti limfosit T CD4+ dan CD8+, CD68+ (monosite/makrofag), neutrofil elastase+ (neutrofil), EG2+ (eosinofil), sel mast triptase dan TNFα.  Sedangkan penelitian pada bekas perokok dengan PPOK memiliki CD3+, CD4+ dan jumlah sel plasma dibandingkan perokok dengan PPOK.  Bekas perokok jangka pendek memiliki CD4+ and CD8+ lebih tinggi dibandingkan perokok, sedangkan bekas perokok jangka panjang memiliki CD8+ yang rendah dibandingkan bekas perokok jangka pendek.  Program berhenti merokok ternyata menurunkan jumlah sel CD8+ dan meningkatkan jumlah sel plasma yang berarti limfosit T bronkus dan jumlah sel plasma berhubungan dengan lamanya berhenti merokok pada pasien PPOK.1,2
            Perkembangan imunologi dan biologi molekular yang mempelajari seluk beluk PPOK membuat para ahli mengembangkan terapi baru selain terapi yang biasa digunakan saat ini.  Obat–obat antiinflamasi spektrum luas untuk PPOK saat ini sedang uji coba klinik fase III, seperti inhibitor phosphodiesterase–4, inhibitor p38 mitogen–activated protein kinase, nuclear factorκB dan phosphoinositide–3 kinase–γ.  Obat yang lebih spesifik seperti inhibitor inducible nitric oxide synthase dan antagonis leukotriene B4 juga digunakan bagi penderita PPOK.  Pemberian obat untuk seperti serine protease dan inhibitor matrix metalloproteinase dapat mencegah kerusakan paru yang dapat berlanjut menjadi emfisema.3
            Di bidang infeksi, penyakit TB paru masih merupakan masalah besar baik dalam diagnostik maupun terapi.  Pengobatan yang masih diberikan saat ini ternyata dipengaruhi oleh banyak faktor.  Pengobatan TB yang tidak memenuhi standar ternyata berdampak pada resistensi terhadap obat–obat yang diberikan.  Resistensi kuman dapat primer yaitu kuman Tb tersebut memang sudah resisten maupun sekunder yaitu kuman TB yang pada mulanya sensitif tapi pada perjalanannya menjadi resisten.  Pemeriksaan efek obat terhadap kuman Tb dapat diketahui dengan pemeriksaan kultur kuman Tb yang hasilnya baru diketahui sekitar 8 minggu.  Teknik pemeriksaan ini membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga para ahli mencari teknik baru yang lebih cepat dan tepat untuk mendeteksi resistensi TB.
            Perkembangan di bidang imunologi dan genomik sangat membantu dalam mendeteksi kuman TB.  Antigen yang dihasilkan oleh kuman tersebut merangsang terbentuknya berbagai jenis antibodi.  Pemeriksaan interferon gamma (IFN–γ) dalam mendeteksi kuman TB telah dikembangkan dan diuji cobakan pada penderita, seperti Early Secreted Antigen Target–6 [ESAT–6] dan Culture Filtrate Protein–10 [CFP–10] yang sepsifik untuk M. tuberculosis.  Protein ini dikode oleh gen yang terdapat segmen genom M. tuberculosis yang disebut dengan RD1.  Uji diagnostik dengan IFN–γ dapat menurunkan hasil positif palsu, efektif pada TB laten dan kebanyakan hanya digunakan pada daerah dengan prevalens rendah.  Pemeriksaan dengan uji amplifikasi asam nukleat (Nucleic acid amplification / NAA) dapat mengidentifikasi M. Tuberculosis, karena uji ini dapat digunakan secara langsung pada sampel klinik seperti sputum. Uji ini disebut juga dengan uji amplifikasi langsung (direct amplification tests).4
            Selain perkembangan diagnostik cepat untuk mendeteksi M. tuberculosis maka dikembangkan pula teknik untuk mengetahui resistensi secara cepat.  Salah satunya yaitu teknik molecular beacon yang dapat mendeteksi secara cepat mutasi kuman yang berhubungan dengan resistensi.  Uji ini memiliki sensitiviti (89–98%) dan spesifisiti (99–100%) dalam mendeteksi resistensi terhadap rifampisin, sedangkan resistensi terhadap isoniazid lebih rendah karena banyaknya mutasi terhadap isoniazid.  Teknik ini masih belum tersedia di pasaran dan belum diakui oleh Food and Drug Administration (FDA).  Line probe assays adalah uji lain untuk mendeteksi resistensi dengan menggunakan polymerase chain reaction (PCR) dan metode reverse hybridization.  Uji ini memiliki sensitiviti lebih dari 95% dan spesifisiti mendekati 100% dalam mendeteksi resistensi terhadap rifampisin dengan kultur.  Phage-based assays adalah teknik untuk mendiagnosis TB dan kemungkinan resistensi.  Teknik ini menggunakan mycobacteriophages untuk mendeteksi M. tuberculosis yang hidup dan mendeteksi basil dengan menggunakan metode phage amplification atau deteksi sinar.  Hingga kini pemeriksaan ini tidak digunakan untuk mendeteksi resistensi rifampisin karena beberapa penelitian menunjukkan bahwa sensitiviti dan spesifisitinya bervariasi.4
            Kemajuan dalam bidang kedokteran saat ini membuktikan bahwa diagnosis suatu penyakit dapat cepat dilakukan agar terapi yang akan diberikan lebih spesifik.  Selain itu patofisiologi suatu penyakit seperti PPOK maupun penyakit tuberkulosis lebih dapat diketahui dengan penelitian yang terus- menerus di bidang biologi molekular dan imunologi.
DAFTAR PUSTAKA :

1.     Lapperre TS, Postma DS, Gosman MME, Snoeck–Stroband JB, ten Hacken NHT, Hiemstra PS, et al. Relation between duration of smoking cessation and bronchial inflammation in COPD. Thorax 2006; 61: 115–21.
2.     Gamble E, Grootendorst DC, Hattotuwa K, Shaughnessy TO, Ram TSF, Qiu Y, et al. Airway mucosal inflammation in COPD is similar in smokers and ex– smokers: a pooled analysis. Eur Respir J 2007 (in press).
3.     Barnes PJ, Stockley RA. COPD: current therapeutic interventions and future approaches. Eur Respir J 2005; 25: 1084–106.
4.     Nahid P, Pai M, Hopewell PC. Advances in the Diagnosis and Treatment of Tuberculosis. Proc Am Thorac Soc 2006; 6: 103–10.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar