Perbaikan Kualiti Hidup Penderita Asma dengan Pengobatan Inhalasi Kombinasi Steroid dan ß2 Agonis Kerja Lama
Tamsil Syafiuddin
Bagian Pulmonologi, Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara, Medan-Indonesia
ABSTRACT
Background: Steroid inhalation as a controller is the corner stone in asthma management, but its usage is often neglected. Uncontrolled asthma will deteriorate the quality of life of asthmatic patients and community productivity..The purpose of this study is to know the difference of quality of life improvement of asthmatic patients, between two groups of therapy: inhalation therapy of steroid and bronchodilator long–acting ß2 agonist combination (budesonide and formoterol), 2 puffs / day and salbutamol single inhalation (control), 3 puffs / day (each group: 20 volunteers; 15-40 years); Each drug was given for 1 month. Before the study, the asthmatic patients were treated with oral salbutamol 3 tablet /day.
Methods: This study was approved by Ethical Committee of Health Research, Faculty of Medicine, Universitas Sumatera Utara and all volunteers gave their ’informed consents’; conducted by randomized, single blind, and controlled trial. Evaluation parameters used score system (score 1-5; increasing the value, the condition getting worse). Parameters are: quantitiy/number of cough, sleep disturbances, activity intolerance, adverse drug events, and unschedulled visit (asthma exacerbation).
Result: The value of parameters between 2 study groups were equal to compare. Furthermore, compared the difference of pre and post treatment values (effect of treatment) (%). Between 2 study groups. Statistical analysis : unpaired student t test (p < 0.05) showed very statistical significant difference between two study groups (inhalation of budesonide and formoterol, and single salbutamol inhalation) (p < 0,05); cough: 13.36 ± 4.63 vs 74.36 ± 4.75, p = 0.0001; sleep disturbancies: 14.95 ± 11.46 vs 47.98 ± 12.96, p = 0.0001; activity disturbancies: 21.67 ± 8.61 vs 51.82 ± 6.29, p = 0.0001).
Conclusions: Inhalation therapy of steroid and long-acting ß2 agonist combination (budesonide and formoterol) produce significant improvement of good quality of life of asthmatic patients,compared to salbutamol single inhalation. Steroid inhalation must be given for asthma management
Keywords : asthma, quality of life, inhalation, budesonide formoterol
Keywords : asthma, quality of life, inhalation, budesonide formoterol
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi kedokteran, sangat menunjang kajian asma dengan cakupan yang lebih luas, baik dari aspek ilmu kedokteran dasar, genetika, klinis, sampai kepada pencapaian kualiti hidup yang prima bagi penderita asma. Dari aspek penderita, pencapaian kualiti hidup yang prima dalam kehidupan sehari-hari bagi penderita, merupakan tujuan dari suatu pengobatan asma1.
Saat ini, obat-obatan yang tepat dan sesuai dengan bukti-bukti ilmiah (evidence based medicine’) untuk penatalaksanaan asma sudah tersedia. Berkenaan dengan hal ini, inhalasi steroid sebagai ’controller’ merupakan peran sentral penatalaksanaan asma (patogenesis dasarnya adalah proses inflamasi pada saluran pernapasan)2-8. Namun kenyataan yang ada sampai saat ini, masih sering ditemui penatalaksanaan asma yang tidak tepat dan sesuai (inappropriate treatment) di kalangan masyarakat, yang hanya menggunakan bronkodilator saja, tanpa pemberian inhalasi steroid sebagai ‘controller’. Jadi, penderita asma hanya diberi terapi simptomatik, tanpa mengontrol patogenesis dasar/penyebab penyakitnya, yaitu proses inflamasi9-10,. Karena itu optimalisasi penatalaksanaan asma sering tidak tercapai, sehingga asma menjadi tidak terkontrol. Kondisi ini akan memperburuk kualiti hidup penderita dan menurunkan produktiviti masyarakat 11,12.
Peningkatan tuntutan masyarakat untuk mencapai kenyamanan dalam berbagai sektor kehidupan, menyebabkan tujuan pengobatan suatu penyakit tidak hanya sekedar meniadakan dan mengatasi keluhan-keluhan yang timbul saja, tetapi harus juga dapat mengontrol penyebabnya. Dengan demikian, penderita dapat menjalankan serta menikmati aktiviti kehidupan sehari-hari tanpa adanya pembatasan dan dapat meningkatkan produktivitinya, dengan biaya yang terjangkau (mencapai kualiti hidup yang prima) 13-14.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh perbedaan/perbaikan pencapaian kualiti hidup pada penderita asma yang diberi pengobatan sesuai dengan ’Evidense Based Medicine’/EBM (inhalasi kombinasi anti-inflamasi steroid/ ’controller’ dengan bronkodilator/’reliever’ ß2 agonis kerja lama (budesonide dan formoterol), dibandingkan dengan pengobatan yang lazim ditemui di kalangan masyarakat, yang hanya menggunakankan bronkodilator/’reliever’ ß2 agonis kerja singkat saja (salbutamol tunggal secara oral/inhalasi). Oleh karena itu, dilakukan perbandingan di antara dua kelompok pengobatan ini, yakni kelompok yang diberi inhalasi kombinasi steroid dengan ß2 agonis kerja lama (budesonide dan formoterol) (teliti); dengan yang diberi inhalasi ß2 agonis kerja singkat (salbutamol tunggal) (kontrol).
Hipotesis penelitian adalah ada perbedaan/perbaikan yang bermakna pada berbagai paramater penilaian pada kelompok yang diberi inhalasi kombinasi anti-inflamasi steroid/ ’controller’ dengan bronkodilator/’reliever’ ß2 agonis kerja lama (teliti) dibandingkan dengan kelompok yang diberi inhalasi bronkodilator/’reliever’ ß2 agonis kerja singkat tunggal (kontrol). Dengan perkataan lain, penambahan inhalasi anti-inflamasi steroid/’controller’, akan meningkatkan kualiti hidup penderita asma yang menggunakannya.
BAHAN DAN CARA
Penelitian ini dilakukan pada penderita asma yang berobat jalan di Medan Asthma Centre dan Poliklinik Asma RS Dr.Pirngadi Medan dan telah mendapat persetujuan dari Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara serta memperoleh ‘informed consent’ dari relawan penelitian.
Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan secara acak, terkontrol dan tersamar tunggal; terdiri dari dua kelompok pengamatan (masing-masing terdiri dari 20 relawan penelitian: 7 laki-laki dan 13 perempuan (teliti); 6 laki-laki dan 14 perempuan (kontrol). Kriteria inklusi adalah penderita asma derajat ringan sampai sedang, yang sebelumnya menggunakan salbutamol tunggal peroral 3 ´ hari, tanpa pemberian steroid (oral ataupun inhalasi). Kriteria eksklusi adalah penderita yang mempunyai penyakit paru lain, kelainan jantung dan penyakit lainnya.
Dua minggu sebelum penelitian, relawan diminta mengisi lembar isian pencatatan nilai parameter penelitian (jumlah batuk, gangguan tidur, gangguan aktiviti, yang dialaminya setiap hari dan juga kejadian efek samping obat, serta kunjungan tak terjadwal (karena serangan sesak napas). Setiap minggu relawan datang kontrol ke Poliklinik Paru RS Dr.Pirngadi Medan dan menyerahkan catatan parameter penilaian tersebut. Setelah 2 minggu, dihitung dan dicatat nilai rerata jumlah batuk, skor gangguan tidur dan skor gangguan aktiviti pada kelompok teliti dan kelompok kontrol. Dilakukan perbandingan nilai rerata berbagai parameter penelitian pada kedua kelompok untuk mengetahui bahwa kondisi di antara kelompok teliti dan kelompok kontrol tidak berbeda. Selanjutnya kelompok teliti, diberi inhalasi kombinasi ICS dan LABA (budesonide dan formoterol), dan kelompok kontrol diberi pengobatan inhalasi SABA (salbutamol) tunggal; obat diberikan selama satu bulan (4 minggu).
Selama mendapat pengobatan (4 minggu), relawan tetap diminta mengisi lembar isian pencatatan nilai parameter penelitian dan datang kontrol ke Poliklinik Paru RS Dr.Pirngadi (seperti yang dilakukan pada sebelum penelitian). Setelah 4 minggu, dihitung dan dicatat nilai rerata jumlah batuk, skor gangguan tidur dan skor gangguan aktiviti, kejadian efek samping obat dan kunjungan tidak terjadwal, pada kelompok teliti dan kelompok kontrol. Prosedur pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Skema prosedur pelaksanaan penelitian perbandingan pencapaian perbaikan kualiti
hidup penderita asma di antara yang diberi inhalasi salbutamol tunggal dengan yang
diberi inhalasi kombinasi ICS dan LABA (budesonide dan formoterol).
Pengamatan parameter jumlah batuk, dilakukan pencatatan jumlah batuk setiap hari. Pada akhir pengamatan, jumlah batuk selama pengamatan dibagi dengan jumlah hari pengamatan, untuk memperoleh rerata jumlah batuk (sebelum penelitian, dibagi 14 dan selama penelitian, dibagi 28).
Untuk parameter gangguan tidur, dicatat skor gangguan tidur yang terjadi setiap minggu. Pada akhir pengamatan, jumlah skor gangguan tidur selama pengamatan dibagi dengan jumlah minggu pengamatan, untuk memperoleh rerata nilai skor gangguan tidur (sebelum penelitian, dibagi 2; selama penelitian, dibagi 4). Jumlah skor gangguan tidur ditetapkan berpedomankan pada ketentuan di bawah ini (Tabel 1)
Tabel 1. Nilai Skor Gangguan Tidur
Jumlah gangguan tidur (dalam 1 minggu) | Skor |
> 3 kali gangguan tidur 3 kali gangguan tidur 2 kali gangguan tidur Tidak ada gangguan tidur | 5 4 |
Untuk parameter gangguan aktiviti, dicatat skor gangguan aktiviti yang terjadi setiap minggu. Pada akhir pengamatan, jumlah skor gangguan aktiviti selama pengamatan dibagi dengan jumlah minggu pengamatan, untuk memperoleh rerata nilai skor gangguan aktiviti (sebelum penelitian, dibagi 2; selama penelitian, dibagi 4). Jumlah skor gangguan aktiviti ditetapkan berpedomankan pada ketentuan di bawah ini (Tabel 2).
Tabel 2. Nilai Skor Gangguan Aktiviti
Jumlah gangguan aktifiti (dalam 1 minggu) | Skor |
Tidak ada hari yang baik untuk melaksanakan aktiviti Ada 3-4 hari yang baik untuk melaksanakan aktiviti Setiap hari dapat melaksanakan aktiviti | 5 4 |
Selanjutnya dibandingkan perbedaan/perbaikan sebelum dan sesudah pengobatan (efek pengobatan) (%), pada parameter jumlah batuk, nilai skor ganguan tidur dan nilai skor gangguan aktiviti, di antara kelompok teliti dengan kelompok kontrol. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan uji t tak berpasangan (p < 0.05). Perbaikan yang terjadi (efek pengobatan), ditentukan dengan menggunakan rumus 1.
Rumus 1. Cara untuk menentukan perbaikan yang terjadi (efek obat)
Selain ketiga parameter penilaian tersebut, juga diamati kejadian efek samping obat dan jumlah kunjungan tak terjadwal karena serangan sesak napas) pada kelompok teliti dan kelompok kontrol.
HASIL PENELITIAN
Jumlah penderita yang diteliti sebanyak 40 orang; masing-masing kelompok pengamatan terdiri dari 20 orang, yaitu 7 laki-laki dan 13 perempuan pada kelompok teliti, dan 6 laki-laki dan 14 perempuan pada kelompok kontrol. Kelompok pengamatan dibagi dalam 2 kelompok secara acak, yaitu yang menggunakan inhalasi kombinasi budesonide dan formoterol (teliti) dan yang menggunakan inhalasi salbutamol saja (kontrol). Relawan penelitian berumur 15-40 tahun, karakteristik penderita dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Distribusi Umur Penderita Asma Yang Diteliti
Teliti | Kontrol | ||||
Umur | Laki-laki | Perempuan | Laki-laki | Perempuan | Jumlah |
15 – 19 20 – 24 25 – 29 30 – 34 35 – 40 | - 2 - 3 2 | 4 5 2 1 1 | 1 2 1 1 1 | 3 4 3 2 2 | 8 13 6 7 6 |
Pengukuran nilai skor berbagai parameter penilaian pada kedua kelompok pengamatan sebelum pemberian obat (data awal), tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna di antara kelompok kontrol dengan kelompok teliti (p > 0.05); batuk: 5.56 ± 0.72 vs 5.65 ± 0.67, p = 0.69; gangguan tidur: 3.80 ± 0.34 vs 3.68 ± 0.63, p = 0.44; gangguan aktiviti: 3.68 ± 0.34 vs 3.65 ± 0.33, p = 0.81 (Tabel 4).
Tabel 4. Data Awal Kelompok Teliti dan Kontrol Sebelum Penelitian (Nilai Rerata / Χ Skor Berbagai Parameter Penilaian)
Data awal Kontrol Teliti
1. Jumlah batuk 5.56 ± 0.72 5.65 ± 0.67 NS: p > 0,05
2. Gangguan tidur 3.80 ± 0.34 3.68 ± 0.63 NS: p > 0,05
3. Gangguan aktiviti 3.68 ± 0.34 3.65 ± 0.33 NS: p > 0,05
Berdasarkan hasil pengamatan ini, kondisi pada kelompok teliti sebanding dengan kondisi pada kelompok kontrol, sehingga kondisi awal kedua kelompok ini tidak berbeda.
Pada pengamatan terhadap parameter jumlah batuk (%), di antara 2 kelompok pengamatan, tampak perbedaan/perbaikan di antara sebelum dan sesudah pengobatan (efek pengobatan) yang sangat bermakna (S) (p < 0.05) di antara kelompok inhalasi salbutamol tunggal (kontrol) dan kelompok inhalasi kombinasi budesonide dan formoterol (teliti), yaitu 13.36 ± 4.63 vs 74.36 ± 4.75, p=0.0001 (Tabel 5).
Pada pengamatan terhadap parameter skor ganguan tidur (%), di antara 2 kelompok pengamatan, tampak perbedaan/perbaikan di antara sebelum dan sesudah pengobatan (efek pengobatan) yang sangat bermakna (S) (p < 0.05), di antara kelompok inhalasi salbutamol tunggal (kontrol) dan kelompok inhalasi kombinasi budesonide dan formoterol (teliti), yaitu 14.95 ± 11.45 vs 47.98 ± 12.69, p = 0.0001 (Tabel 6).
Tabel 5. Nilai (%) Perbedaan /Perbaikan Sebelum dan Sesudah Pemberian Inhalasi
Salbutamol Tunggal dengan Inhalasi Kombinasi Budesonide dan Formoterol
(Efek Obat Terhadap Rerata Nilai Aritmetik Jumlah Batuk/Hari)
Nilai (%) perbedaan/perbaikan (efek obat terhadap rerata nilai aritmetik jumlah batuk/hari) | |||||||
Inhalasi salbutamol tunggal | Inhalasi kombinasi budesonide + formoterol | ||||||
No | Sblm.pnltn | Ssdh p.o | Efek (%) | No | Sblm.pnltn | Ssdh p.o | Efek (%) |
1. | 4.79 | 4.32 | 9.81 | 1. | 5.29 | 1.96 | 62..95 |
2. | 4.71 | 4.36 | 7.43 | 2. | 4.57 | 1.61 | 64.77 |
3. | 4.93 | 4.43 | 10.14 | 3. | 6.36 | 1.86 | 70.75 |
4. | 4.43 | 4.32 | 2.48 | 4. | 6.29 | 1.71 | 72.81 |
5. | 5.57 | 4.82 | 13.46 | 5. | 4.79 | 1.46 | 69.52 |
6. | 5.79 | 4.75 | 17.96 | 6. | 5.57 | 1.18 | 78.82 |
7. | 5.64 | 4.82 | 14.54 | 7. | 6.93 | 1.43 | 79.37 |
8. | 5.86 | 4.89 | 16.55 | 8. | 5.29 | 1.46 | 72.40 |
9. | 5.29 | 4.61 | 12.85 | 9. | 5.93 | 1.46 | 75.38 |
10. | 6.00 | 5.07 | 15.50 | 10. | 5.64 | 1.43 | 74.65 |
11. | 5.71 | 5.00 | 12.43 | 11. | 5.57 | 1.25 | 77.56 |
12. | 5.57 | 5.00 | 10.23 | 12. | 5.29 | 1.14 | 78.45 |
13. | 5.29 | 4.46 | 15.69 | 13. | 5.50 | 1.21 | 78.00 |
14. | 4.00 | 3.68 | 8.00 | 14. | 7.14 | 1.36 | 80.95 |
15. | 6.86 | 5.36 | 21.87 | 15. | 4.71 | 1.36 | 71.13 |
16. | 6.21 | 5.21 | 16.10 | 16. | 5.86 | 1.46 | 75.09 |
17. | 5.57 | 4.96 | 10.95 | 17. | 5.86 | 1.36 | 76.79 |
18. | 6.50 | 5.18 | 20.31 | 18. | 5.79 | 1.29 | 77.72 |
19. | 6.29 | 5.43 | 13.67 | 19. | 5.21 | 1.39 | 73.32 |
20. | 6.21 | 5.14 | 17.23 | 20 | 5.36 | 1.25 | 76.68 |
| | | | | | | |
| 5.56 ± 0.72 | 4.79 ±0.43 | 13.36 ± 4.63 | | 5.65 ± 0.67 | 1.43 ± 0.21 | 74.36 ± 4.75 |
Tabel 6. Nilai (%) Perbedaan/Perbaikan Sebelum dan Sesudah Pemberian Inhalasi
Salbutamol Tunggal dengan Inhalasi Kombinasi Budesonide dan Formoterol
(Efek Obat Terhadap Rerata Nilai Skor Gangguan Tidur /Minggu)
Nilai (%) perbedaan/perbaikan (efek obat terhadap rerata nilai skor gangguan tidur /minggu) | |||||||
Inhalasi salbutamol tunggal | Inhalasi kombinasi budesonide + formoterol | ||||||
No | Sblm.pnltn | Ssdh p.o | Efek (%) | No | Sblm.pnltn | Ssdh p.o | Efek (%) |
1. | 4.50 | 3.00 | 33.33 | 1. | 4.00 | 2.25 | 43.75 |
2. | 4.00 | 3.00 | 25.00 | 2. | 4.50 | 1.75 | 61.11 |
3. | 3.50 | 3.25 | 7.14 | 3. | 3.50 | 1.75 | 50.00 |
4. | 3.50 | 3.25 | 7.14 | 4. | 3.00 | 2.00 | 33.33 |
5. | 3.50 | 3.50 | 0.00 | 5. | 4.00 | 1.75 | 56.25 |
6. | 3.50 | 3.00 | 14.30 | 6. | 3.50 | 2.50 | 28.57 |
7. | 4.00 | 3.25 | 18.75 | 7. | 4.50 | 1.75 | 61.11 |
8. | 4.00 | 3.25 | 18.75 | 8. | 3.00 | 1.75 | 41.66 |
9. | 3.50 | 3.50 | 0.00 | 9. | 4.50 | 2.00 | 62.50 |
10. | 4.00 | 3.75 | 62.50 | 10. | 3.50 | 1.75 | 50.00 |
11. | 3.50 | 3.25 | 7.14 | 11. | 3.50 | 2.00 | 42.86 |
12. | 4.00 | 2.75 | 31.25 | 12. | 2.50 | 1.75 | 30.00 |
13. | 4.00 | 3.25 | 18.75 | 13. | 3.00 | 2.00 | 33.33 |
14. | 4.00 | 3.25 | 18.75 | 14. | 4.00 | 1.75 | 56.25 |
15. | 3.50 | 3.00 | 14.30 | 15. | 4.50 | 1.25 | 72.22 |
16. | 3.50 | 3.50 | 0.00 | 16. | 3.00 | 1.75 | 41.66 |
17. | 3.50 | 3.25 | 7.14 | 17. | 4.50 | 2.00 | 62.50 |
18. | 4.50 | 2.75 | 38.90 | 18. | 3.00 | 1.75 | 56.25 |
19. | 4.00 | 3.00 | 25.00 | 19. | 3.00 | 2.00 | 33.33 |
20. | 3.50 | 3.25 | 7.14 | 20 | 3.50 | 2.00 | 42.86 |
| 3.80 ± 0.34 | 3.20 ±0.25 | 14.95± 11.46 | | 3.70 ± 0.63 | 1.86±0.25 | 47.98±12.69 |
Tabel 7. Nilai (%) Perbedaan/Perbaikan Sebelum dan Sesudah Pemberian Inhalasi
Salbutamol Tunggal Dengan Inhalasi Kombinasi Budesonide dan Formoterol
(Efek Obat Terhadap Rerata Nilai Skor Gangguan Aktiviti /Minggu)
Nilai (%) perbedaan/perbaikan (efek obat terhadap rerata nilai skor gangguan aktiviti /minggu) | |||||||
Inhalasi salbutamol tunggal | Inhalasi kombinasi budesonide + formoterol | ||||||
No | | Ssdh p.o | Efek (%) | No | Sblm.pnltn | Ssdh p.o | Efek (%) |
1. | 3.50 | 3.25 | 7.14 | 1. | 3.50 | 2.00 | 42.86 |
2. | 4.00 | 2.75 | 31.25 | 2. | 4.00 | 1.50 | 62.50 |
3. | 3.50 | 3.00 | 14.86 | 3. | 4.00 | 1.75 | 56.25 |
4. | 4.00 | 3.00 | 25.00 | 4. | 3.50 | 1.75 | 50.00 |
5. | 3.50 | 3.00 | 14.86 | 5. | 3.50 | 1.50 | 57.14 |
6. | 3.50 | 3.00 | 14.86 | 6. | 4.00 | 2.00 | 50.00 |
7. | 3.00 | 2.50 | 16.66 | 7. | 4.00 | 1.75 | 56.25 |
8. | 4.00 | 2.50 | 37.50 | 8. | 3.50 | 1.50 | 57.14 |
9. | 4.00 | 3.00 | 25.00 | 9. | 3.00 | 1.50 | 50.00 |
10. | 4.00 | 3.00 | 25.00 | 10. | 4.00 | 1.75 | 56.25 |
11. | 3.50 | 2.75 | 21.43 | 11. | 3.50 | 1.50 | 57.14 |
12. | 3.50 | 2.50 | 28.57 | 12. | 3.50 | 2.00 | 42.86 |
13. | 3.50 | 3.00 | 14.46 | 13. | 3.50 | 1.75 | 50.00 |
14. | 4.00 | 2.75 | 31.25 | 14. | 4.00 | 1.75 | 56.25 |
15. | 4.00 | 2.75 | 31.25 | 15. | 4.00 | 2.25 | 43.75 |
16. | 3.50 | 3.00 | 14.86 | 16. | 3.50 | 1.50 | 57.14 |
17. | 3.00 | 2.75 | 8.33 | 17. | 3.50 | 1.75 | 50.00 |
18. | 4.00 | 2.75 | 31.25 | 18. | 4.00 | 1.75 | 56.25 |
19. | 3.50 | 3.00 | 14.86 | 19. | 3.00 | 1.75 | 41.66 |
20. | 4.00 | 3.00 | 25.00 | 20 | 3.50 | 2.00 | 42.86 |
| | | | | | | |
| 3.68 ± 0.36 | 2.86± 0.21 | 21.87 ± 8.61 | | 3.65 ± 0.33 | 1.75± 0.21 | 51.82 ± 6.29 |
Pada pengamatan terhadap parameter skor gangguan aktiviti (%), di antara 2 kelompok pengamatan, tampak perbedaan/perbaikan di antara sebelum dan sesudah pengobatan (efek pengobatan) yang sangat bermakna (S) (p < 0.05), di antara kelompok inhalasi salbutamol tunggal (kontrol) dan kelompok inhalasi kombinasi budesonide dan formoterol (teliti), yaitu 21.67 ± 8.61 vs 51.82 ± 6.29, p=0.0001 (Tabel 7).
Berdasarkan pencatatan untuk kunjungan tak terjadwal (karena serangan sesak napas) dan kejadian efek samping obat, pada 2 minggu sebelum penelitian dilaksanakan (relawan mendapat pengobatan dengan salbutamol peroral 3´/hari), terdapat 3 orang relawan yang mengalami jantung berdebar dan 1 orang mengalami tremor pada tangan dan ada 4 orang relawan terpaksa melakukan kunjungan tak terjadwal. Selama pemberian obat (4 minggu), pada kelompok yang diberi inhalasi salbutamol tunggal (kontrol), terdapat 1 orang relawan yang mengalami jantung berdebar dan ada 1 orang relawan yang terpaksa melakukan kunjungan tak terjadwal, karena serangan sesak napas; sedangkan pada kelompok yang diberi inhalasi kombinasi budesonide dan formoterol, tidak satupun relawan mengalami efek samping obat dan sesak napas yang mengharuskannya melakukan kunjungan tak terjadwal (Tabel 8).
Tabel 8. Jumlah Kejadian Efek Samping Obat dan Kunjungan Tak Terjadwal Pada
Beberapa Kelompok Pengobatan Penderita Asma
| Salbutamol oral 3 ´/hari | Inhalasi salbutamol tunggal | Inhalasi kombinasi budesonide + formoterol |
Kejadian efek samping obat | 4 | 1 | 0 |
Kunjungan tak terjadwal | 4 | 1 | 0 |
PEMBAHASAN
Dari hasil pengamatan sebelum pemberian obat, tidak ada perbedaan bermakna di antara kelompok teliti dan kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi dua kelompok tidak berbeda.
Saat ini, fakta menunjukkan bahwa penatalaksanaan asma yang tidak tepat dan sesuai (inappropriate treatment) masih sering ditemui di kalangan masyarakat, yakni hanya menggunakan bronkodilator saja, tanpa pemberian inhalasi steroid sebagai ‘controller’. Jadi penderita asma hanya diberi terapi simptomatik yang bersifat sementara, tanpa mengontrol patogenesis dasar/penyebab asma, yaitu proses inflamasi.9-10 Hal ini disebabkan oleh, kurangnya kepatuhan penderita serta proses edukasi terintegrasi, yang disesuaikan dengan kondisi setempat, yang akan meningkatkan pemahaman penderita tentang dasar pemikiran dan keterampilan yang diperlukan dalam memandang dan menatalaksana penyakit asma sebagai suatu proses inflamasi kronis, daripada hanya sekedar mengatasi proses krisis yang episodik .15-16 Penerapan konsep adherensi ini harus didukung dan sesuai dengan bukti-bukti yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah melalui penelitian yang dirancang dengan baik dan benar.
Parameter penilaian pada penelitian ini menggunakan parameter jumlah batuk, gangguan tidur, gangguan aktiviti, kejadian efek samping obat dan kunjungan tak terjadwal (karena serangan sesak napas), karena berbagai parameter ini mempunyai hubungan yang erat dengan kualiti hidup penderita asma. Hasil penelitian yang terlihat pada tabel 5, tabel 6, tabel 7 dan tabel 8, memperlihatkan perbedaan yang sangat-sangat bermakna bagi pencapaian kualiti hidup yang prima pada kelompok penderita asma yang mendapat inhalasi kombinasi anti-inflamasi/’controller’ dan bronkodilator/reliever (budesonide dan formoterol) dibandingkan dengan pencapaian kualiti hidup pada penderita asma yang diberi bronkodilator saja (inhalasi salbutamol tunggal). Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya ’AIRE Study’ yang mendapatkan perbaikan ’symptom severity index’ antara pengobatan anti inflamasi dan ’quick relief medication’ pada kelompok asma ringan, sebesar 75% dan asma sedang, sebesar 81% 17 .
Hal ini membuktikan bahwa pengabaian penggunaan anti-inflamasi (’controller’) pada penatalaksanaan asma, memberi peluang untuk kelangsungan proses ’remodelling’ pada saluran pernapasan, sehingga dapat menyebabkan kerusakan menetap pada saluran pernapasan dan kecacatan pada penderita asma 8,9, yang akan menurunkan nilai skor berbagai parameter penilaian pada penelitian ini. Sudah barang tentu keadaan ini akan memperburuk kualiti hidup dan menurunkan produktivitinya sebagai komponen masyarakat 11,12.
Penatalaksanaan asma terutama dilaksanakan melalui pendekatan farmakologis dengan obat-obatan, yaitu kombinasi obat pengontrol/anti-inflamasi/’controller’ dan bronkodilator/’reliever’ (yang terbaik adalah inhalasi kombinasi anti-inflamasi steroid dan ß2 agonis kerja lama/LABA) 3-7, yang memerlukan waktu yang relatif panjang (‘long-term treatment’) dan evaluasi objektif dari waktu ke waktu. Penggunaan obat-obatan dalam penatalaksanaan asma harus pula disertai dengan pemahaman terhadap pertimbangan farmakoekonomik yang sangat menekankan pencapaian kualiti hidup yang prima bagi penderita asma (’cost-utility analysis’), untuk menyiapkan strategi terunggul dalam mengobati sebagian besar penderita asma dengan biaya terjangkau 13-14.
Penatalaksanaan asma yang tidak disertai pemahaman yang baik terhadap berbagai aspek yang berkaitan dengan penyakitnya (penerapan konsep adherensi), kerap menurunkan kepatuhan terhadap pengobatan 15,16, sehingga menyebabkan pengobatan asma yang tidak optimal dan menurunkan kualiti hidup penderita asma, yang makin mempersulit penatalaksanaan asma selanjutnya. Dengan demikian, kualiti hidup penderita asma sangat berhubungan dengan pengobatan asma yang benar 11,12. Pada penelitian ini jelas terlihat bahwa pengobatan asma yang benar, akan menghasilkan pencapaian tingkat kualiti hidup yang lebih baik bagi penderita asma yang sejalan dengan ’health-related quality of life’/QOL11,12.
KESIMPULAN
Pemberian inhalasi anti-inflamasi/ ’controller’ (steroid) bersamaan dengan pemberian bronkodilator/’reliever’, terbukti sangat baik mengontrol penyakit asma, sehingga penderita asma akan terhindar dari serangan sesak napas yang mendadak (eksaserbasi akut/kunjungan tak terjadwal ke rumah sakit), yang kadangkala memerlukan perawatan intensif, sehingga penderita dapat menjalankan aktiviti sehari-hari seperti layaknya orang normal, dan mampu meningkatkan produktiviti (mencapai kualiti hidup yang prima).
Sesungguhnya, penatalaksanaan asma harus dilaksanakan secara menyeluruh dengan pendekatan farmakologis yang tepat dan sesuai (’appropriate treatment’/ tanpa mengabaikan pemberian anti-inflamasi/’controller’), penerapan konsep adherensi/edukasi tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan penyakitnya, disertai berbagai usaha-usaha perbaikan lainnya (melatih otot-otot pernapasan, mengubah kebiasaan-kebiasaan buruk, dan lain-lain).
Berdasarkan fakta yang diperoleh dari penelitian ini, sudah selayaknya pihak-pihak pembuat keputusan dalam membuat kebijaksanaan pada sistem pelayanan kesehatan masyarakat, menyediakan terapi inhalasi kombinasi steroid dan ß2 agonis kerja lama/LABA pada berbagai sistem pelayanan kesehatan masyarakat dengan harga yang terjangkau, sehingga dapat diberikan kepada setiap penderita asma. Dengan demikan, akan dicapai masyarakat dengan kualiti hidup dan produktiviti yang prima.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bateman ED, . Frith L.F, Braunstein GL. Achieving guideline-based asthma control: does the patient benefit? Eur Respir J 2002; 20:588-96.
2. Holgate ST , Davies DE , Lackie PM, Wilson SJ, Puddicombe SM, Lordan JL. Epithelial - mesenchymal interactions in pathogenesis of asthma. J Allergy Clin Immunol 2000;105: 193-204.
3. Barnes PJ. Scientific rational for inhaled combination therapy with long-acting beta2 agonists and corticosteroids. Eur Respir J 2002; 19: 182-91.
4. Pauwels RA, Lofdahl CG, Postma DS et al. Effect of inhaled formoterol and budesonide on exacerbations of asthma. Formoterol and Corticosteroid Establishing Therapy (FACET) International Study Group. N Engl J Med 1997; 337: 1412-18.
5. Juniper EF, Svensson K, O’Byrne PM et al. Asthma quality of life during 1 year of treatment with budesonide with or without formoterol. Eur Respir J 1999; 14: 1038-43.
6. Olsson P, Ställberg B, Ekström T, Jörgensen LA. Adjustable maintenance treatment of asthma with budesonide and formoterol in a single inhaler. ERS 2002.
7. Kamenov S. Budesonide and formoterol in a single inhaler is safe and effective in the treatment of asthma. 4th World Asthma Meeting. Bangkok , Thailand . February 16-19, 2004 .
8. Bousquet J, Jeffrey PK, Busse WW, Johnson M, Vignola AM. Asthma: from bronchoconstriction to airways inflammation and remodelling. Am J Respir Crit Care Med 2000; 161: 1720-45.
9. Ståhl E, Hyland ME. Unmet needs of asthma patients, and how these are reflected in attitudes to the disease and its treatment. Eur Respir J 2002; 20 (Suppl 38): 410s, Abs 2618.
10. Zain-Hamid R, Syafiuddin T. Profile of Asthmatic Patients and Its Pharmacological Aspects at The Clinic of The Asthma Foundation of North Sumatra and at Some Hospitals in Medan , Indonesia . The 10th National Congress of Indonesian Pharmacologist Association. 15-18 Nov. 2000, Batu- Malang , Indonesia .
11. Magid DJ, Houry D, Ellis J, et al. Health-related quality of life predicts emergency department utilization for patients with asthma. Ann Emerg Med. 2004; 43:551-7.
12. Pont LG, van der Molen T, Denig P, et al. Relationship between guideline treatment and health-related quality of life in asthma. Eur Respir J. 2004;23:718-22.
13. Shackman BR, Gold HT, Stone PW, Neumann PJ. How often do sensitivity analysis for economic parameters change cost-utility analysis conclusions? Pharmacoeconomics 2004; 22 (5): 293-300.
14. Kennedy L, Craig A-M. Global registries for measuring pharmaco-economic and quality of life outcomes: Focus on design and data collection, analysis and interpretation. Pharmacoeconomics 2004; 22 (9): 551-68.
15. Côté J, Cartier A, Robichaud P et al. Influence of asthma education on asthma severity, quality of life and environmental control. Can Respir J 2000; 7 (5): 395-400.
16. Meszaros A, Orosz M, Magyar P, Mesko A, Vincze Z. Evaluation of asthma knowledge and quality of life in Hungarian asthmatics. Allergy 2003; 58 (7): 624.
17. Rabe KF, Vermeire PA, Soriano JB, Maier WC. Clinical management of asthma in 1999: the Asthma Insights and Reality in Europe (AIRE) study, Eur Respir J 2000; 16: 802-807
Tidak ada komentar:
Posting Komentar